Mengenang Dejavu


… dan aku mengalami dejavu berkepanjangan, di hari pertama jumpa kita.

Seakan pernah melihatmu, seakan mengenalmu. Seakan kita begitu akrab sebelumnya.

Rautmu terpatri di kepalaku, susah payah ku lepas.

Dan aku melihatmu duduk di sana, bercanda, termenung, gundah, tertawa, berpikir.

Lalu aku tidak lagi melihatmu di sana.

Aku melihat bayang diriku. Bagai cermin.

Itu aku, duduk di sana. Kadang merasa cemas dengan dunia. Tidak tahu harus melangkah ke mana, tidak tahu akan berujung ke mana. Begitu banyak impian, entah akan terlempar bagaimana dan dimana.

Lalu kau tersenyum. Dan aku tersadar, itu senyumku.

Itu senyumku bila aku jatuh cinta.

Tapi, apa kau jatuh cinta? Pada siapa kau jatuh cinta?

Bagai sekelebat mimpi yang menyentak-nyentak ingin terbebas. Dengan cepat aku berburu kenyataan.

Bahwa kelak,
kau dan aku akan terikat, suka atau tidak suka. Ditolak atau menolak.

Bahwa aku harus berpikir cepat, untuk menjagamu tetap di sana.
Tetaplah di tempatmu.

Agar kau aman,
dari butir-butir rindu yang suatu hari akan menyiksa, menekan tanpa ampun.

Tapi,
kemudian aku terlepas. Lengah, gagal.

Dan baru kusadari dejavu itu tidak berada di masa lampau.
Bahwa kau dan aku telah terikat, entah sampai kapan. Suka atau tidak suka. Ditolak atau menolak.

_________ dua dunia.

Terimakasih sudah menyempatkan membaca. Silakan menanggapi walau satu kata.