Islam, Kudis, dan Harapan


Penduduk Indonesia berjumlah lebih kurang 200 juta lebih, 90 persen menganut agama Islam. Tetapi yang mengamalkan ajaran rahmatan lil alamin ini baru 60 persen, sisanya yang 30 persen terkena penyakit kudis alias kurang disiplin dan kurang perhatian (kurap)

Panggilan mulia itu dianggap biasa-biasa saja, bagaikan angin sepoi berlalu. Kita tetap tidak juga beranjak dari tempatnya dan masih kesemsem dengan urusan dunia.Baca selebihnya »

Menuju 8 Hari Titik Kematian


Bagaimana rasanya jika sisa hidupmu hanya 8 hari saja?

Saya tahu, suatu hari saya pasti mati.

“Setiap yang berjiwa pasti akan mati” (TQS. Ali Imran: 3)

Tapi, 8 hari. Apa saya langsung memperbaiki diri? banyak beribadah? Tapi, mari kita berasumsi sedikit. Anggap saja ada yang menyebutkan pertanda ini untuk saya. Akan saya usahakan sesuai logika berpikir. Maka, dimulai hari-hari penantian itu.

Baca selebihnya »

Apa yang Dia Minta …


Rambutnya tak lagi hitam Alisnya berundak naik Bulu matanya mencuat Hidung mungilnya telah meninggi Bibirnya lah yang kini rata dan mungil Lalu dagunya? Dimana yang lama yang lebar itu? Bentuk tubuhnya pun berubah Bahkan warna kulitnya Kemudian ia berlenggak-lenggok Palsu… semua palsu Dan dia berteriak-teriak Mengharapkan, menginginkan Datangnya cinta sejati Yang mau menerima diri apa […]

Mengenang Dejavu


… dan aku mengalami dejavu berkepanjangan, di hari pertama jumpa kita.

Seakan pernah melihatmu, seakan mengenalmu. Seakan kita begitu akrab sebelumnya.

Rautmu terpatri di kepalaku, susah payah ku lepas.

Dan aku melihatmu duduk di sana, bercanda, termenung, gundah, tertawa, berpikir.

Lalu aku tidak lagi melihatmu di sana.

Aku melihat bayang diriku. Bagai cermin.

Itu aku, duduk di sana. Kadang merasa cemas dengan dunia. Tidak tahu harus melangkah ke mana, tidak tahu akan berujung ke mana. Begitu banyak impian, entah akan terlempar bagaimana dan dimana.

Lalu kau tersenyum. Dan aku tersadar, itu senyumku.

Itu senyumku bila aku jatuh cinta.

Tapi, apa kau jatuh cinta? Pada siapa kau jatuh cinta?

Bagai sekelebat mimpi yang menyentak-nyentak ingin terbebas. Dengan cepat aku berburu kenyataan.

Bahwa kelak,
kau dan aku akan terikat, suka atau tidak suka. Ditolak atau menolak.

Bahwa aku harus berpikir cepat, untuk menjagamu tetap di sana.
Tetaplah di tempatmu.

Agar kau aman,
dari butir-butir rindu yang suatu hari akan menyiksa, menekan tanpa ampun.

Tapi,
kemudian aku terlepas. Lengah, gagal.

Dan baru kusadari dejavu itu tidak berada di masa lampau.
Bahwa kau dan aku telah terikat, entah sampai kapan. Suka atau tidak suka. Ditolak atau menolak.

_________ dua dunia.

Capek Ya?


Capek ya?
Jadi laki-laki itu capek
Apalgi kalau banyak tekanan pekerjaan
Menumpuk disana-disini
Bikin pusing, bikin kesal

Tapi,
Laki-laki  lebih kesal lagi kalau tidak punya pekerjaan
Tidak  punya tantangan
Tidak merasa menjadi siapa-siapa
Tepatnya, tidak berguna

Jadi,
Kenapa tidak disyukuri saja?

Lagipula,
Ketika laki-laki pulang ke rumah,
Mereka bisa langsung istirahat atau langsung makan
Disambut senyuman istri atau anak
Sementara perempuan pulang ke rumah,
Disambut cucian kotor dan rumah berantakan

Jadi,
Kenapa tidak disyukuri saja?

Jadi Laki-laki itu capek,

Tapi, kalau capek jadi laki-laki, terus mau jadi apa?

Jadi laki-laki jadi-jadian

Kisah Dua Sisi


20 tahun lebih kisah itu kudengar dari mulut ke telinga, kembali ke mulut dan telinga dan akhirnya tersimpan di otak. Kisah seorang perempuan nestapa yang bekerja sebagai pembantu rumahtangga dari rumah ke rumah kadang berubah menjadi penjual. Perempuan baik, murah senyum, perempuan yang kukenal.  Dia hidup bersama suami yang berpenghasilan tak seberapa jua. Bertahun-tahun hidup hanya berdua. Ya, hanya berdua tanpa seorang anak yang mereka idam-idamkan.

Kisah mereka dimulai ketika seorang perempuan lain hidup dalam kesulitan yang sama dengannya, namun dengan keadaan yang berbeda. Perempuan itu tak lain adalah keluarga mereka. Meski dengan kesulitan keuangan yang sama, ada satu hal yang ia miliki dan tak dimiliki keluarga itu. Anak. Empat orang anak dimiliki oleh perempuan itu, dan tak seorang pun dimiliki oleh keluarga pertama tersebut. Hari itu seorang bayi mungil perempuan diberikan pada keluarga itu, karena ketidaksanggupannya memberi makan. Keluarga yang belum memiliki keturunan itu kini sedang berbahagia dengan anak perempuan lucu ditangan mereka. Bayi mungil perempuan yang sudah diberikan pada mereka, karena kesulitan keuangan. Anak yang menjadi idaman dilepas oleh sang ibu karena ketidaksanggupannya menafkahi.

Tahun-tahun berlalu, si bayi tumbuh menjadi gadis cantik. Benar-benar cantik. Ia menjadi anugerah bagi keluarga tempat ia bernaung. Pundi-pundi harta cukup sering mengalir di keluarga tersebut. Bahkan, keluarga tersebut kini memiliki anak dan terus memiliki anak. Anak-anak yang dulunya tak pernah mereka miliki sebelum si bayi mungil muncul. Si gadis bahagia tinggal bersama ibu yang bukan ibu kandungnya. Bertahun-tahun ia tak pernah tahu ibunya. Hingga suatu hari.

Hingga suatu hari itu tiba. Ibu yang ia anggap ibunya ternyata hanya seorang bibi. Dan Bibi yang berparas persis dengan dirinya itulah ibu kandungnya. Betapa marahnya si gadis.

Dia berkata, “Seandainya saja ‘ibu’ tahu betapa susahnya kami hidup, tapi ibuku tidak pernah sedikitpun meninggalkan aku, tidak seperti ibu. Hanya karena kesulitan ekonomi, ‘ibu’ tega meninggalkan aku.” Ia ucapkan kalimat itu jelas. Bertubi-tubi. Perasaannya sungguh terhina mengetahui kebenaran. Bahwa ia hanya seorang anak titipan juga pancingan bagi sebuah keluarga agar memiliki keturunan.

Ia terus tumbuh dewasa, dari dirinya pula keluarga tempat ia bernaung bisa hidup nyaman. Amat mudah si gadis memperoleh pekerjaan. Di hari pernikahannya, tidak sekalipun ibu kandungnya diberikan tempat disisinya. Baginya Bibinya lah ibunya, ibu yang merawat, memberi makan, mencintainya dengan tulus, tidak meninggalkannya karena alasan apapun. Dia lah perempuan yang berhak ada disisinya di hari bahagia tersebut.

Dan ini aku ‘ibu’ bersanding disini, penuh bahagia. Aku tetap bisa hidup meski ‘ibu’ sudah membuangku dan tidak menganggapku anak. Jika harta yang menjadi alasan ‘ibu’ membuangku, lihat! lihat bagaimana ibuku dengan jerih payah dan kesulitannya yang sama seperti ‘ibu’ bisa membuatku berhasil.

Dan ibu kandungnya pun menyesal telah memberikannya pada orang lain. Penyesalan yang amat besar.

Dan inilah kisah dua puluh tahun lebih itu. Kisah yang terus diulang. Bahkan aku pun terus mengulangnya. Kisah seorang ibu yang berlaku buruk, menyia-nyiakan bayi sucinya.

Tapi, ternyata kisah ini tidak sempurna.

Sebuah sisi lain ingin kuceritakan.Baca selebihnya »

Pernikahan Tanpa Televisi:Tetap Eksis Dengan Internet


“Hari gini kok nggak punya tivi”??
Begitu tanggapan kerabat ketika mengetahui kami tidak memiliki kotak ajaib bin keramat itu di rumah.
Ketika menikah, kami justru sepakat tidak membeli televisi. Suatu hal yang (dianggap) berbeda dari pasangan lainnya. Karena hampir semua keluarga memiliki televisi di rumah mereka. Layar persegi itu bahkan di letakkan di tempat utama pula, ruang tamu. Sedemikian pentingnya, hingga seorang keluarga pernah berkomentar, “Beli tivi aja, biar enak kalau ada tamu.” Entah apa hubungannya. Mungkin bisa jadi tivi (-sekadar menyingkat agar lebih merakyat-) dianggap benda insidental yang akan menyelamatkan empunya rumah jika tidak ada penganan di dapur sebagai jamuan siap saji.
Kali lain ada juga pihak yang beranggapan kami melarang penggunaan tivi, hehe…padahal bisa jadi kami hanya tidak memiliki duit untuk beli tivi. #promo_kemiskinanBaca selebihnya »

Kau Boleh, Aku Tidak?


Girly, Stylish, sambil angkat kain diatas betis, itulah dirimu.
Kulit putih mulus, rambut halus, berjalan lenggak-lenggok bak model tersohor yang aku tahu meski tanpa alasan fulus,kau rela melakukannya dengan tulus.
Oke,kuanggap level kecantikanmu lulus.

Sorot matamu tajam serta lurus, dan senyum yang kau pamerkan itu,ah..entah berapa waktu mesti kutebus.
Dan dari semua itu, caramu berbusanalah yang entah mengapa bagai sebuah jurus yang bisa membuat kaum ku terjerumus!
Tapi inilah kehebatanmu, kau akan akan bilang otak kami kotor,otak kami mesum,kami haus dan rakus!
Aku tertawa tidak lucu mendengarmu.
Oke, baiklah kami akan mengabaikanmu. Benar-benar mengabaikanmu.
Anehnya kau kembali berkata, kami tidak normal, kami penyuka sejenis.
Hah Nona! Aku kembali tertawa tidak lucu. Kali ini dengan emosi.

Apa yang engkau mau?!
Atas nama KEBEBASAN kau bisa pamerkan tubuhmu, seharusnya atas nama KEBEBASAN juga aku bisa memandangmu. (kau punya paha dan aku punya mata, seharusnya selesai)
Kau payah menilai kaumku. (Jadi) wajar jika kaum ku salah menilaimu.
Aku merasa ada yang ganjil dalam pembelaanmu. Entah emansipasi, entah kebebasan ekspresi,.
Sebenarnya aku paham, kau (sangat) ingin dipahami! Tapi kau enggan memahami!
Kau (sangat) ingin dihargai! Tapi bahkan kau tak tahu seberapa berharganya dirimu sejak dini.
Aku heran, kalau kau boleh,kenapa aku tidak?

(dari aku yang bukan aku sebenarnya)

*********************

Di suatu kelas.
Ayu : “Aduuh… Hendra nih, pukul-pukul, sakit tauk!”

Hendra  : “Kamu tuh duluan! Cewek gila!”

Bu Guru : “Hendra! Ayu! Ya ampun kalian kaya’ anak SD!”

Hendra   : ”Dia tu Bu, orang lagi diam, dipukul. Aku tu diam aja Bu, dia lewat sini,eh mukul. Ya kupukul lagi dong”

Bu Guru : ”Yang benar Yu?”

Ayu : ”Becandaan aja Bu, aku mukulnya pelan aja kok!”

Bu Guru : (Berusaha menengahi, dan geleng-geleng tak percaya, macam anak kecil saja, padahal sudah baligh)

Sebagian Murid lain : (Cengar-cengir senang karena pelajaran jadi terganggu, sambil menimpali kawan yang bertengkar)

”Udah Bu, bawa ke KUA kawinin aja.”

Sebagian lainnya : (pelototin buku pura-pura sibuk mengerjakan tugas, sambil sesekali pelototin teman yang bertengkar, buku> teman > buku>  teman, begitu seterusnya hingga situasi aman untuk ribut kembali)

Murid yang tersisa : sangat cuek dengan situasi,tak peduli siapa menang siapa benar, yang penting maju ke depan dan berkata : ” Bu, izin ke toilet yaa..”

Bu Guru :(serba salah) “ya udah, jangan lama-lama ya.”

Murid yang tersisa : “Makasih Bu, ayo Gus..” (izin sendirian,tapi ngajak teman)
Si Agus : “Ayo Kri, cepetan.” (gak diizinin, ngajak teman)

Si Bakri : “Par..Par.. mau ikutan gak? Permisi Bu.” (senyum biar Guru gak marah sambil akting kebelet)

Si Parto :”Hah, Lho kok aku… Permisi ya Bu.” (biarpun gak kebelet dan gak diizinin tetep keluar kelas juga)

Hendra dan Ayu : (masih tetap bertengkar)

Hendra : ”Memangnya kenapa kalau kamu cewek, kalau kamu berani megang-megang aku,aku juga bisa, kalau kamu bisa mukul aku, aku juga bisa.

Ayu : Terdiam.

Bu Guru : Melerai dan membiarkan mereka berpikir sudah waktunya mereka bersikap dewasa, kemudian berjalan secepatnya ke toilet murid, karena sudah habis masa-nya bagi keempat anak itu untuk main di toilet

***

(Sesungguhnya hanya hukum-hukum Allah lah yang Maha Adil ditujukan bagi laki-laki dan perempuan)

“Karena Kau Sudah Cantik”


Sekitar 20 tahun yang lalu, sepasang suami itu masih menunjukkan kekuatannya, yang wanita seorang yang cantik serta baik hati, walaupun hanya tamatan SD serta pernah mencicipi Sekolah Rakyat (SR) dan beberapa bulan mengenyam SMP dia bukan perempuan teramat bodoh. Bukan keinginannya untuk tidak bersekolah, namun saat itu situasi yang membuatnya harus menuruti kehendak orangtua. Sebagai anak keempat dari 10 bersaudara (bahkan sebenarnya menurut orangtuanya–mereka seharusnya 12 bersaudara,sayang 2 diantaranya meninggal sebelum sebelum mencicipi dunia–)

Dan si perempuan tadi diamanahi menjaga serta mengurus adik-adiknya yang masih kecil. Terlebih setelah ayahnya meninggal, tinggal dia bersama kaka-kakanya yang lain membantu ibu mereka. Tentu saja, tahun-tahun tersebut merupakan hal-hal yang sulit. Untuk menafkahi keluarga sang ibu pun berjualan, dan anak-anaknya termasuk perempuan tadi ikut menjajakan keliling kue-kue hasil jualan. Ya, menjajakan keliling, tidak ada tempat baik itu warung apalagi toko untuk menjual kue-kuenya. Walaupun terkadang perempuan ini cukup dirumah saja, membantu ibunya membuat kue.

Baca selebihnya »

Cinta itu kepada …


fallin loveJatuh cinta ya ??boleh..hanya pada yang tepat tentunya.

” Sabda Rasululllah SAW :Siapa pun tidak akan merasakan manisnya iman, hingga ia mencintai seseorang tidak karena yang lain kecuali karena Allah semata

(Hadist dari Anas bin Malik dikeluarkan oleh al-Bukhari)

” Barangsiapa yang memberi karena Allah, tidak memberi karena Allah,mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, berarti ia telah sempurna imannya.”

(Hadits riwayat At-Tirmidzi dari Muadz bin Anas al-Jauhani)

“Tidak beriman seorang hamba hingga aku lebih dicintai daripada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia lainnya.

(Mutafaq ‘Alaih)